Tidak dapat dipungkiri, meninggalkan syari’at islam akan menimbulkan akibat buruk di dunia dan akhirat. Kaum muslimin jauh dari ajaran agama mereka, menyebabkan mereka kehilangan kejayaan dan kemuliaan. Diantara ajaran islam yang ditinggalkan dan dilupakan oleh kaum muslimin adalah hukuman bagi pezina (Hadduz-Zinâ). Sebuah ketetapan yang sangat efektif menghilangkan atau mengurangi masalah perzinahan. Ketika hukuman ini tidak dilaksanakan, maka tentu akan menimbulkan dampak atau implikasi buruk bagi pribadi dan masyarakat.
Realita dewasa ini mestinya sudah cukup menjadi pelajaran
bagi kita untuk memahami dampak buruk ini.
Melihat realita ini, maka sangat perlu ada yang mengingatkan
kaum muslimin terhadap hukuman ini. Semoga Allah Azza wa Jalla memberikan kesadaran
dan menguatkan keyakinan mereka akan kemuliaan dan keindahan syari’at islam.
DEFINISI ZINA.
Istilah zina sudah masuk dalam bahasa Indonesia, namun untuk
memahami hukum syari’at tentang masalah ini kita perlu mengembalikannya ke
pengertian menurut bahasa Arab dan syari’at supaya pas dan benar.
Dalam bahasa arab, zina diambil dari kata :
زَنَى يَزْنِي زِنىً
، وزِنَاءً
yang artinya berbuat fajir (nista).
Sedangkan dalam istilah syari’at zina adalah melakukan
hubungan seksual (jima’) di kemaluan tanpa pernikahan yang sah, kepemilikan
budak dan tidak juga karena syubhat.
Ibnu Rusyd rahimahullah menyatakan: Zina adalah semua
hubungan seksual (jima’) diluar pernikahan yang sah dan tidak pada nikah
syubhat dan kepemilikan budak. (Definisi ini) secara umum sudah disepakati para
ulama islam, walaupun mereka masih berselisih tentang syubhat yang dapat
menggagalkan hukuman atau tidak ?
HUKUM ZINA
Perbuatan zina diharamkan dalam syari’at islam, termasuk
dosa besar, berdasarkan dalil-dalil berikut ini:
1. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا ۖ إِنَّهُ كَانَ
فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu
adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk”. [al-Isrâ/17:32]
2. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
وَالَّذِينَ
لَا يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَٰهًا
آخَرَ وَلَا يَقْتُلُونَ النَّفْسَ
الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا
بِالْحَقِّ وَلَا يَزْنُونَ ۚ
وَمَنْ يَفْعَلْ ذَٰلِكَ يَلْقَ أَثَامًا
يُضَاعَفْ لَهُ الْعَذَابُ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ وَيَخْلُدْ فِيهِ مُهَانًا
“Dan orang-orang yang tidak menyembah ilah yang lain beserta
Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali
dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barangsiapa yang melakukan
demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa (nya), (yakni) akan
dilipat gandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab
itu, dalam keadaan terhina”. [al-Furqân/25: 68-69]
Dalam hadits, Nabi juga mengharamkan zina seperti yang
diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ûd Radhiyallahu ‘anhu, beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam berkata:
سَأَلْتُ
رَسُوْلَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَيُّ الذَّنْبِ أَعْظَمُ
؟، قَالَ: أَنْ تَجْعَلَ
للَِّهِ نِداً وَهُوَ خَلَقَكَ
، قُلْتُ:ثُمَّ
أَيُّ ؟ قَالَ: أَنْ
تَقْتُلَ وَلَدَكَ خَشْيَةَ أَنْ يَطْعَمَ مَعَكَ
، قُلْتُ:ثُمَّ
أَيُّ ؟ قَالَ: أَنْ
تُزَانِيَ حَلِيْلَةَ جَارِكَ
“Aku telah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam : Dosa apakah yang paling besar ? Beliau menjawab : Engkau menjadikan
tandingan atau sekutu bagi Allah , padahal Allah Azza wa Jalla telah
menciptakanmu. Aku bertanya lagi : “Kemudian apa?” Beliau menjawab: Membunuh
anakmu karena takut dia akan makan bersamamu.” Aku bertanya lagi : Kemudian apa
? Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab lagi: Kamu berzina dengan istri
tetanggamu”.[4,5]
Sejak dahulu hingga sekarang, kaum muslimin sepakat bahwa
perbuatan zina itu haran. Imam Ahmad bin Hambal rahimahullaht berkata : Saya
tidak tahu ada dosa yang lebih besar dari zina (selain) pembunuhan.
HUKUMAN PEZINA.
Pelaku zina ada yang berstatus telah menikah (al-Muhshân)
dan ada pula yang belum menikah (al-Bikr). Keduanya memiliki hukuman berbeda.
Hukuman pezina diawal Islam berupa kurungan bagi yang telah
menikah dan ucapan kasar dan penghinaan kepada pezina yang belum menikah
(al-Bikr). Allah Azza wa Jalla berfirman : ” Dan (terhadap) para wanita yang
mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi di antara kamu
(yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, maka
kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya,
atau sampai Allah memberi jalan yang lain kepadanya. Dan terhadap dua orang
yang melakukan perbuatan keji di antara kamu, maka berilah hukuman kepada
keduanya, kemudian jika keduanya bertaubat dan memperbaiki diri, maka
biarkanlah mereka. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha
Penyayang”. [an-Nisâ`/ 4:15-16]
Kemudian sanksi itu diganti dengan rajam (dilempar batu)
bagi yang telah menikah (al-Muhshân) dan dicambuk seratus kali bagi yang belum
menikah (al-Bikr) dan ditambah pengasingan setahun.
a. Pezina al-Muhshân
Pezina yang pernah menikah (al-Muhshân) dihukum rajam
(dilempar dengan batu) sampai mati. Hukuman ini berdasarkan al-Qur`an, hadits
mutawatir dan ijma’ kaum muslimin.
Ayat yang menjelaskan tentang hukuman rajam dalam al-Qur`an meski telah dihapus lafadznya namun hukumnya masih tetap diberlakukan. Umar bin Khatthab Radhiyallahu ‘anh menjelaskan dalam khuthbahnya :
Ayat yang menjelaskan tentang hukuman rajam dalam al-Qur`an meski telah dihapus lafadznya namun hukumnya masih tetap diberlakukan. Umar bin Khatthab Radhiyallahu ‘anh menjelaskan dalam khuthbahnya :
إِنَّ اللهَ أَنْزَلَ عَلَى
نَبِيِّهِ الْقُرْآنَ وَكَانَ فِيْمَا أُنْزِلَ
عَلَيْهِ آيَةُ الرَّجْمِ فَقَرَأْنَاهَا
وَوَعَيْنَاهَا وَعَقَلْنَاهَا وَرَجَمَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله
عليه وسلم وَرَجَمْنَا بَعْدَهُ
وَ أَخْشَى إِنْ طَالَ
بِالنَّاسِ زَمَانٌ أَنْ يَقُوْلُوْا
: لاَ نَجِدُ الرَّجْمَ فِيْ
كِتَابِ الله فَيَضِلُّوْا بِتَرْكِ
فَرِيْضَةٍ أَنْزَلَهَا اللهُ وَ ِإِنَّ
الرَّجْمَ حَقٌّ ثَابِتٌ فِيْ
كِتَابِ اللهِ عَلَى مَنْ
زَنَا إِذَا أَحْصَنَ إِذَا
قَامَتِ الْبَيِّنَةُ أَوْ كَانَ الْحَبَل
أَوْ الإِعْتِرَاف.
“Sesungguhnya Allah telah menurunkan al-Qur`an kepada
NabiNya dan diantara yang diturunkan kepada beliau adalah ayat Rajam. Kami
telah membaca, memahami dan mengetahui ayat itu. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam telah melaksanakan hukuman rajam dan kamipun telah melaksanakannya
setelah beliau. Aku khawatir apabila zaman telah berlalu lama, akan ada
orang-orang yang mengatakan: “Kami tidak mendapatkan hukuman rajam dalam kitab
Allah!” sehingga mereka sesat lantaran meninggalkan kewajiban yang Allah Azza
wa Jalla telah turunkan. Sungguh (hukuman) rajam adalah benar dan ada dalam
kitab Allah untuk orang yang berzina apabila telah pernah menikah (al-Muhshân),
bila telah terbukti dengan pesaksian atau kehamilan atau pengakuan sendiri”.
Ini adalah persaksian khalifah Umar bin al-Khatthâb
Radhiyallahu ‘anhu diatas mimbar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
dihadiri para sahabat sementara itu tidak ada seorangpun yang mengingkarinya
[9].
Sedangkan lafadz ayat rajam tersebut diriwayatkan dalam Sunan Ibnu Mâjah berbuny :
Sedangkan lafadz ayat rajam tersebut diriwayatkan dalam Sunan Ibnu Mâjah berbuny :
وَالشَّيْخُ
وَالشَّيْخَةُ إِذَا زَنَيَا فَارْجُمُوْهُمَا
الْبَتَهْ نَكَلاً مِنَ اللهِ
وَ اللهُ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ
“Syaikh lelaki dan perempuan apabila keduanya berzina maka
rajamlah keduanya sebagai balasan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Allah maha
perkasa lagi maha bijaksana.
Sedangkan dasar hukuman rajam yang berasal dari sunnah, maka
ada riwayat mutawatir dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam baik
perkataan maupun perbuatan yang menerangkan bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam telah merajam pezina yang al-Muhshân (ats-Tsaib al-Zâni)
Ibnu al-Mundzir rahimahullah menyatakan: Para ulama telah
berijma’ (sepakat) bahwa orang yang dihukum rajam, terus menerus dilempari batu
sampai mati.
Ibnu Qudâmah rahimahullah menyatakan: Kewajiban merajam
pezina al-muhshân baik lelaki atau perempuan adalah pendapat seluruh para ulama
dari kalangan sahabat, tabi’in dan ulama-ulama setelah mereka diseluruh negeri
islam dan kami tidak mengetahui ada khilaf (perbedaan pendapat diantara para
ulama) kecuali kaum Khawarij.
Meski demikian, hukuman rajam ini masih saja diingkari oleh
orang-orang Khawarij dan sebagian cendikiawan modern padahal mereka tidak
memiliki hujjah dan hanya mengikuti hawa nafsu serta nekat menyelisihi dalil-dalil
syar’i dan ijma’ kaum muslimin. Wallahul musta’an.
Hukuman rajam khusus diperuntukkan bagi pezina al-muhshân
(yang sudah menikah dengan sah-red) karena ia telah menikah dan tahu cara
menjaga kehormatannya dari kemaluan yang haram dan dia tidak butuh dengan
kemaluan yang diharamkan itu. Juga ia sendiri dapat melindungi dirinya dari
ancaman hukuman zina. Dengan demikian, udzurnya (alasan yang sesuai syara’)
terbantahkan dari semua sisi . dan dia telah mendapatkan kenikmatan sempurna.
Orang yang telah mendapatkan kenikmatan sempuna (lalu masih berbuat kriminal)
maka kejahatannya (jinayahnya) lebih keji, sehingga ia berhak mendapatkan
tambahan siksaan.
Syarat al-Muhshân.
Rajam tidak diwajibkan kecuali atas orang yang dihukumi
al-Muhshân. Dari keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa seorang dihukumi
sebagai al-Muhshaan apabila memenuhi kriteria sebagai berikut:
1. Pernah melakukan jima’ (hubungan seksual) langsung di
kemaluan. Dengan demikian, orang yang telah melakukan aqad pernikahan namun
belum melakukan jima’ , belum dianggap sebagai al-Muhshân.
2. Hubungan seksual (jima’) tersebut dilakukan berdasarkan
pernikahan sah atau kepemilikan budak bukan hubungan diluar nikah
3. Pernikahannya tersebut adalah pernikahan yang sah.
4. Pelaku zina adalah orang yang baligh dan berakal.
5. Pelaku zina merdeka bukan budak belian.
Dengan demikian seorang dikatakan al-Muhshân, apabila
kriteria diatas sudah terpenuhi.
b. Pezina Yang Tidak al-Muhshân
Pelaku perbuatan zina yang belum memenuhi kriteria
al-muhshân, maka hukumannya adalah dicambuk sebanyak seratus kali.
Ini adalah kesepakatan para ulama berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
Ini adalah kesepakatan para ulama berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
الزَّانِيَةُ
وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا
مِائَةَ جَلْدَةٍ
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka
deralah (cambuklah) tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera
(cambuk)”. [An-Nûr/24:2]
Al-Wazîr rahimahullah menyatakan :
“Para ulama sepakat bahwa pasangan yang belum al-muhshân dan merdeka (bukan budak-red), apabila mereka berzina maka keduanya dicambuk (dera), masing-masing seratus kali.
“Para ulama sepakat bahwa pasangan yang belum al-muhshân dan merdeka (bukan budak-red), apabila mereka berzina maka keduanya dicambuk (dera), masing-masing seratus kali.
Hukuman mati (dengan dirajam-red) diringankan buat mereka
menjadi hukuman cambuk karena ada udzur (alasan syar’i-red) sehingga darahnya
masih dijaga. Mereka dibuat jera dengan disakiti seluruh tubuhnya dengan
cambukan. Kemudian ditambah dengan diasingkan selama setahun menurut pendapat
yang rajah, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
خُذُوْا
عَنِّيْ ، خُذُوْا عَنِّيْ
، قَدْ جَعَلَ
اللَّهُ لَهُنَّ سَبِيْلاً ،
الْبِكْرُ بِالْبِكْرِ جِلْدُ مِائَةٍ وَتَغْرِيْبُ
عَامٍ .
“Ambillah dariku! ambillah dariku! Sungguh Allah telah
menjadikan bagi mereka jalan, yang belum al-muhshaan dikenakan seratus dera dan
diasingkan setahun.” [HR Muslim].
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan :
“Apabila tidak muhshân , maka dicambuk seratus kali, berdasarkan al-Qur`an dan
diasingkan setahun dengan dasar sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam.
KEKHUSUSAN HUKUMAN PEZINA.
Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan tiga karakteristik
khusus bagi hukuman zina :
1. Hukuman yang keras, yaitu rajam untuk al-Muhshân dan itu
adalah hukuman mati yang paling mengenaskan dan sakitnya menyeluruh keseluruh
badan. Juga cambukan bagi yang belum al- muhshân merupakan siksaan terhadap
seluruh badan ditambah dengan pengasingan yang merupakan siksaan batin.
2. Manusia dilarang merasa tidak tega dan kasihan terhadap
pezina
3. Allah memerintahkan pelaksanaan hukuman ini dihadiri
sekelompok kaum mukminin. Ini demi kemaslahatan hukuman dan lebih membuat jera.
Hal ini disampaikan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam
firmanNya: “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah
tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan
kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu
beriman kepada Allah, dan hari akherat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman
mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman” [an-Nûr/24:2]
SYARAT PENERAPAN HUKUMAN ZINA.
Dalam penerapan hukuman zina diperlukan syarat-syarat
sebagai berikut :
1. Pelakunya adalah seorang mukallaf yaitu sudah baligh dan
berakal (tidak gila).
2. Pelakunya berbuat tanpa ada paksaan.
3. Pelakunya mengetahui bahwa zina itu haram, walaupun belum
tahu hukumannya.
4. Jima’ (hubungan seksual) terjadi pada kemaluan.
5. Tidak adanya syubhat. Hukuman zina tidak wajib dilakukan
apabila masih ada syubhat seperti menzinahi wanita yang ia sangka istrinya atau
melakukan hubungan seksual karena pernikahan batil yang dianggap sah atau
diperkosa dan sebagainya.
Ibnu al-Mundzir rahimahullah menyatakan :
“Semua para ulama
yang saya hafal ilmu dari mereka telah berijma’ (bersepakat) bahwa had
(hukuman) dihilangkan dengan sebab adanya syubhat.”
6. Zina itu benar-benar terbukti dia lakukan. Pembuktian ini
dengan dua perkara yang sudah disepakati para ulama yaitu:
6.1. Pengakuan dari pelaku zina yang mukallaf dengan jelas dan
tidak mencabut pengakuannya sampai hukuman tersebut akan dilaksanakan.
6.2. Persaksian empat saksi yang melihat langsung kejadian,
sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
لَوْلَا
جَاءُوا عَلَيْهِ بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ
“Mengapa mereka (yang menuduh itu) tidak mendatangkan empat
orang saksi atas berita bohong itu.” [an-Nûr/24:13]
وَالَّذِينَ
يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا
بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ
“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik
(berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang-orang saksi.….”
[An-Nûr/24:4]
Persaksian yang diberikan oleh para saksi ini akan diakui
keabsahannya, apabila telah terpenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. Mereka bersaksi pada satu majlis
b. Mereka bersaksi untuk satu kejadian perzinahan saja
c. Menceritakan perzinahan itu dengan jelas dan tegas yang
dapat menghilangkan kemungkinan lain atau menimbulkan penafsiran lain seperti
hanya melakukan hal-hal diluar jima’.
d. Para saksi adalah lelaki yang adil
e. Tidak ada yang menghalangi penglihatan mereka seperti
buta atau lainnya.
Apabila syarat-syarat ini tidak sempurna, maka para saksi
dihukum dengan hukuman penuduh zina. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
وَالَّذِينَ
يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا
بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلَا تَقْبَلُوا لَهُمْ
شَهَادَةً أَبَدًا ۚ وَأُولَٰئِكَ
هُمُ الْفَاسِقُونَ
“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik
(berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang-orang saksi, maka
deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu
terima keksaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang
yang fasik” [an-Nûr/24:4]
Penetapan terjadinya perbuatan zina dan pemutusan saksi
dengan berdasarkan persaksian dan pengakuan si pelaku yang disebutkan diatas,
telah disepakati oleh para ulama. Dan para ulama masih berselisih pendapat
tentang hamil diluar nikah. Bisakah hal ini dijadikan sebagai dasar untuk
menetapkan bahwa telah terjadi perbuatan zina atau orang ini telah melakukan
perbuatan zina sehingga berhak mendapatkan sanksi ?
Para ulama berselisih menjadi dua pendapat :
Pertama : Pendapat jumhur yaitu madzhab Hanafiyah,
Syafi’iyah dan Hambaliyah (hanabilah) menyatakan bahwa hukuman pezina tidak
ditegakkan atau dilaksanakan kecuali dengan pengakuan dan persaksian saja.
Kedua : Pendapat madzhab Malikiyah menyatakan hukuman pezina
dapat ditegakkan dengan indikasi kehamilan.
Yang rajih dari dua pendapat diatas adalah pendapat madzhab
Malikiyah sebagaimana dirajihkan syaikhul Islam ibnu Taimiyah rahimahullah.
Beliau rahimahulllah menyatakan bahwa seorang wanita dihukum dengan hukuman
zina apabila ketahuan hamil dalam keadaan tidak memiliki suami, tidak memiliki
tuan (jika ia seorang budak-red) serta tidak mengklain adanya syubhat dalam
kehamilannya.
Beliau rahimahullah pun menyatakan :
“Inilah yang
diriwayatkan dari para khulafâ’ rasyidin dan ia lebih pas dengan pokok kaedah
syari’at.
Dalil beliau rahimahullah dan juga madzhab Malikiyah adalah
pernyataan Umar bin Khatthab Radhiyallahu ‘anhu dalam khutbahnya :
وَ ِإِنَّ الرَّجْمَ حَقٌّ
ثَابِتٌ فِيْ كِتَابِ اللهِ
عَلَى مَنْ زَنَا إِذَا
أَحْصَنَ إِذَا قَامَتِ الْبَيِّنَةُ
أَوْ كَانَ الْحَبَل أَوْ
الإِعْتِرَاف.
“Sungguh rajam adalah benar dan ada dalam kitab Allah atas
orang yang berzina apabila telah pernah menikah (al-Muhshaan), bila tegak
padanya persaksian atau kehamilan atau pengakuan sendiri”
Jelaslah dari pernyataan Umar bin al-Khatthab Radhiyallahu
‘anhu diatas bahwa beliau menjadikan kehamilan sebagai indikasi perzinahan dan
tidak ada seorang sahabatpun waktu itu yang mengingkarinya.
al-Hâfidz Ibnu Hajar rahimahullah mengomentari riwayat Umar
Radhiyallahu ‘anhu diatas dengan menyatakan: (Dalam pernyataan Umar diatas) ada
pernyataan bahwa wanita apabila didapati dalam keadaan hamil tanpa suami dan
juga tidak memiliki tuan, maka wajib ditegakkan padanya hukuman zina kecuali
bila dipastikan adanya keterangan lain tentang kehamilannya atau akibat
diperkosa.
Semoga Artikel ini bermanfaat ...